4 Apr 2010

Metode Penelitian Bab I

PENDEKATAN ILMIAH DALAM PENDIDIKAN

1. SUMBER PENGETAHUAN.
Sumber-sumber pengetahuan dapat dikelompokan menjadi 5, yaitu sebagai berikut:
1. Pengalaman.
2. Otoritas.
3. Cara berfikir deduktif.
4. Cara berfikir induktif.
5. Pendekatan ilmiah.

1.1. Pengalaman.
Pengalaman sebagai sumber kebenaran, mempunyai keterbatasan. Ada kalanya pengaruh suatu kejadian terhadap seseorang, akan bergantung kepada siapa orang itu. Dua oang yang mengalami situasi yang sama mungkin akan memperoleh pengalaman yang berbeda.
Kelemahan lain dari pengalaman ialah bahwa seringkali seseorang perlu mengetahui hal-hal yang tidak dapat dipelajari/diketahui lewat pengalaman sendiri.

1.2. Otoritas / wewenang.
Wewenang atau otoritas maksudnya orang mencari jawaban peranyaan itu dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman dalam hal itu, atau yang mempunyai sumber keahlian lainnya. Apa yang dikerjakan oleh orang yang kita ketahui mempunyai wewenang itu, kita terima sebagai suatu kebenaran.
Erat hubungannya dengan wewenang adalah kebiasaan dan tradisi. Para pendidik menganggap praktek-praktek di masa lalu sebagai pedoman yang dapat dipercaya, tapi terungkap bahwa banyak tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya kemudian terbukti salah dan harus ditolak.
Kelemahan dari wewenang. Pertama, orang-orang yang berwenang itu juga bisa salah, juga orang yang dianggap berwenang itu berbeda pendapat tentang beberapa masalah.

1.3. Cara berfikir deduktif.
Aristotheles dan para pengikutnya memperkenalkan penggunaan cara berfikir deduktif, yang dapat dirumuskan sebagai suatu proses berfikir yang bertolak dari pernyataan yang berbentuk umum ke pernyataan yang lebih khusus dengan memakai kaidah logika tertentu.ini adalah suatu sistem penyusunan fakta yang telah diketahui guna mencapai kesimpulan.
Hal ini yang dinamakan silogisme, yaitu :
semua manusia adalah makhluk hidup (premis mayor)
socrates adalah seorang manusia (premis minor).
socrates adalah seorang makhluk hidup (kesimpulan).
Akan tetapi, juga memiliki keterbatasan. Kesimpulan silogisme tidak pernah melampaui isi premis-premisnya. Karena selalu merupakan perluasan dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, sehingga dalam penyelidikan ilmiah sulit menentukan kebenaran universal dari berbagai penyataan mengenai gejala ilmiah.

1.4. Cara berfikir induktif.
Francis bachon berpendapat bahwa para pemikir hendaknya tidak merendahkan diri begitu saja dengan menerima premis orang yang memiliki otoritas sebagai kebenaran mutlak. Ia yakin bahwa seorang penyidik dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung.
Bagi ia, untuk memperoleh pengetahuan, seseorang harus mengamati alam itu sendiri, mengumpulkan fakta-fakta, dan merumuskan generalisasi dari hasil-hasil tersbut.
Perbedaan antara cara berfikir deduktif dan induktif dapat dilihat dari contoh berikut:
a. deduktif : Setiap binatang menyusui memiliki paru-paru.
Kelinci adalah binatang menyusui.
Oleh karna itu, setiap kelinci memiliki paru-paru.

b. induktif : Setiap kelinci yang pernah diamati memiliki paru-paru.
Oleh karna itu, setiap kelinci memiliki paru-paru.

1.5. Pendekatan ilmiah.
Pendekatan ilmiah biasanya dilukiskan sebagai proses dimana penyelidik secara induktif bertolak dari pengamatan mereka menuju hipotesis. Kemudian secara deduktif peneliti bergerak dari hipotesis ke implikasi logis hipotesis tersebut.Kemudian menarik kesimpulan mengenai akibat yang akan terjadi apabila hubungan yang diduga itu benar. Apabila implikasi yang diperoleh secara deduktif ini sesuai dengan pengetahuan yang sudah diterima kebenarannya, maka selanjutnya implikasi tersebut diuji dengan data empiris (yang dikumpulkan). Berdasarkan bukti-bukti ini, maka hipotesis ini dapat diterima atau ditolak.
Penggunaan hipotesis merupakan perbedaan utama antara pendekatan ilmiah dan cara berpikir induktif. Dengan cara induktif kita melakukan pengamatan terlebih dahulu dan baru kemudian menyusun informasi yang diperoleh. Pada umumnya dianggap bermanfaat kalau pendekatan ilmiah disajikan sebagai suatu rangkaian langkah yang harus diikuti. Perumusan secara pasti tentang langkah tersebut mungkin akan berbeda antara satu pengarang dengan pengarang yang lain.
Langkah langkah dalam pendekatan ilmiah adalah sebagai berikut:
1.5.1. Perumusan masalah.
Penyelidikan ilmiah bermula dari suatu masalah atau persoalan yang memerlukan pemecahan. Agar dapat diselidiki secara ilmiah, suatu persoalan harus memiliki satu ciri penting. Persoalan tersebut harus dapat dirumuskan sedemikian rupa, sehingga dapat dijawabdengan pengamatan dan percobaan didunia ini.
1.5.2. pengajuan hipotesis.
Pada tahap ini mengharuskan peneliti membaca bahan bacaan yang berkaitan dengan masalah itudan berfikir lebih mendalam lagi.
1.5.3. Cara berfikir deduktif.
Melalui proses berfikir deduktif, implikasi hipotesis yang diajukkan itu, yaitu apa yang akan dapat diamati jika hipotesis tersebut benar ditetapkan.
1..5.4. Pengumpulan dan analisis data.
Hipotesis atau lebih tepatnya implikasi yang diperoleh melalui deduksi, diuji dengan jalan mengumpulkan data yang ada hubungannya dengan masalah yang diselidiki melalui pengamatan, tes dan eksperimentasi.
1.5.5. penerimaan atau penolakan hipotesis.
Setelah data dikumpul, maka hasilnya dianalisisuntuk menetapkan apakah penyelidikan memberi bukti-bukti yang mendukung hipotesis atau tidak.



2. HAKEKAT ILMU.
Disini dikatakan bahwa semua ilmu, meskipun mungkin berbeda satu dengan lain dalam hal bahan atau tekhnik khususnya, mempunyai persmaan dalam metode umum untuk mencapai pengetahuan yang dapat dipercaya(reliabel).
Ada beberapa aspek pendekatan ilmiah yang di bahas disini, yaitu :
1. Asumsi yang dibuat oleh ilmuan.
2. Sikap para ilmuan.
3. Puncak teori ilmiah dalm bentuk perumusan teoritis.

2.1. Asumsi yang dibuat oleh ilmuan.
Asumsi dasar yang dibuat oleh ilmuan menyatakan bahwa kejadian-kejadian yang mereka teliti bersifat tata hukum atau tertib. Ilmu didasarkan pada keyakinan bahwa semua gejala alam mempunyai faktor antiseden (sebab akibat) yang dapat diketahui melalui pengamatan.

2.2. Sikap para ilmuan.
ilmuan pada dasrnya adalah orang yang sangsi, yang selalu meragukan setiap data ilmu.
-ilmuan bersikap objektif dan tidak memihak
-ilmuan berurusan dengan fakta-fakta, bukan dengan nilai-nilai.
-ilmuan tidak puas dengan fakta yang terpisah-pisah, melainkan terus berusaha menyatukan dan menyusunhasil-hasil penyelidikannya secara sistimatis.

2.3. Teori ilmiah.
Tujuan akhir ilmu adalah membentuk teori. Teori ilmiah adalah suatu keterangan sementara tentang gejala-gejala. Dari keterangan ini kita bisa meneruskan ke ramalan dan akhirnya ke pengendalian. Meskipun tujuan akhir ilmu adalah pembangunan teori, usaha yang bersifat ilmiah akan menghasilkan :
-keterangan.
-ramalan.
-pengendalian.
2.3.1. macam-macam teori.
Teori yang terutama dikembangkan untuk menjelaskan pengamatan-pengamatan sebelumnya dikenal sebagai teori induktif. Sedangkan suatu teori yang yang dilakukan dengan sedikit atau tanpa pengamatan terhadap gejala-gejala, dapt digolongkan sebagai teori deduktif-hipotesis.
2.3.2. kegunaan teori.
1. meringkas dan menyusun pengetahuan yang ada dalam suatu bidang tertentu.
2. menjelaskan dan memberi arti kepada hasil penyelidikan empiris yang telah dilakukn sebelumnya dan masih terpisah-pisah.
2.3.3. ciri-ciri teori.
Ciri-ciri teori yang baik:
1 teori harus dapat menerangkan fakta hasil pengamatan yang ada hubungannya dengan suatu masalah.
2. teori harus konsisten dengan fakta yang diamati dan dengan kerangka pengetahuan yang mapan.
3. teori harus memberikan cara pembuktian kebenarannya.
4. teori harus merangsang penemuan baru dan menunjukkan bidang-bidang baru yang perlu diselidiki.

2.4. keterbatasan-keterbatasan pendekatan ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial.
Ada beberapa keterbatasan dalam penerapan pendekatan ilmiah ke bidang pendidikan dan ilmu-ilmu sosial. Diantaranya:
2.4.1. kepelikan masalah.
Hambatan yang utama terdapat pada kepelikan ilmu-ilmu sosial itu sendiri.
2.4.2. kesukaran dalam pengamatan.
Pengamatan ilmu sosial lebih sukar dibanding ilmu alam, karena pengamatan lebih bersifat subjektif dan non fisik.
2.4.3. kesukaran dalam replikasi.
Gejala gejala dalam ilmu sosial adalah kejadian tunggal yang sulit untuk diulangi untuk tujuan pengamatan.
2.4.4. interaksi antara pengamatan dan subjek.
Penyidik adalah manusia, yang kehadirannya sebagai suatu pengamatdapat mempengaruhi manusia lain yang menjadi subjeknya.
2.4.5. kesukaran dalam pengendalian.
2.4.6. masalah pengukuran.



3. HAKEKAT PENELITIAN.

3.1. Penelitian pendidikan.
Jika pendekatan ilmiah diterapkan untuk menyelidiki masalah-masalah pendidikan, maka hasilnya adalah penelitian pendidikan. Penelitian pendidikan adalah cara yang digunakan orang untuk mendapatkan informasi yang berguna dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai proses kependidikan .

3.2. Tahap-tahap penelitian.
3.2.1. Memilih masalah.
Penelitian dimulai dengan suatu pertanyaan yang menyangkut persoalan yang cukup penting untuk dijadikan masalah penelitian.
3.2.2. Tahap analisis.
Tahap ini menuntut pengkajian yang mendalam terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya, yang mungkin telah dilakukan terhadap masalah tersebut.
3.2.3. Memilih strategi penelitian dan mengembangkan instrument.
Pemilihan metode penelitian akan mempengaruhi penyusunan rancangan penyelidikan dan prosedur pengukuran variabel.
3.2.4. Mengumpulkan data dan menafsir data.
Setelah mengumpulkan data dengan berbagai cara, data harus dianalisis, biasanya secara statistik. Kemudian peneliti melakukan penafsiran yang tepat terhadap hasil penelitian yang diperoleh.
3.2.5. Melaporkan hasil penelitian.
Para peneliti harus berusaha agar prosedur, hasil dan kesimpulan penelitian mereka tersaji dalam bentuk yang dapat dimengrti oleh orang lain, yang mungkin berminat terhadap masalah yang diteliti.

3.3. masalah penelitian yang diajukan oleh para peneliti pendidikan.
3.3.1. masalah penelitian yang bersifat teoritis.
Penelitian dengan orientasi teoritis dapat ditujukan kearah pengembangan teori atau pengujian teoriyang sudah ada.
3.3.2. masalah penelitian yang bersifat praktis.
Ditujukan untuk memecahkan masalahkhusus yang dihadapi para pendidik dalam kegiatan mereka sehari-hari.

3.4. Penelitian dasar dan terapan.
Penelitian dasar adalah penelitian yang bertujuan memperoleh data empiris yang dapat digunakan untuk merumuskan,memperluas, atau mengevaluasi teori.
Sedangkan penelitian terapan adalah penelitian yang bertujuan memecahkan persoalan praktis yang mendesak.


4. METODOLOGI PENELITIAN DALAM PENDIDIKAN.
Metodologi penelitian adalah strategi umum yang dianut dalam pengumpulan dananalisis data yang diperlukan, guna menjawab persoalan yang dihadapi.
Kategori dalam penelitian pendidikan adalah sebagai berikut :
1. eksperimental : bertujuan untuk menetapkan apa yang mungkin terjadi.
2. Ex post facto : sama seperti eksperimental hanya disini peneliti tidak dapat secara langsung memanipulasi variabel bebas.
3. Deskriptif : melukiskan atau menggambarkan keadaan yang ada sekarang (pada saat penelitian berlangsung. Penelitian ini terdiri atas beberapa sub kategori :
a. Studi kasus. e. Analisis dokumenter.
b. Studi perkembangan. f. Studi kecenderungan.
c. Survei. g. Studi korelasi.
d. Studi tidak lanjut.
4. Historis : bertujuan untuk memberi tahu apa yang terjadi di masa lalu.


5. BAHASA PENELITIAN.
Para ilmuan memerlukan istilah-istilah tingkat empirisguna melukiskan pengamatan-pengamatan tertentu.

5.1. pengertian dan bangunan pengertian.
Pengertian atau konsep adalah suatu abstraksi dari kejadian-kejadian yang diamati. Pengertian adalah kata yang mewakili persamaan atau segi umum dari objek atau kejadian yang berbeda satu sama lain.

5.2. Spesifikasi arti.
Arti kata dalam kosa kata ilmuan harus ditetapkan.
5.2.1. Batasan konstitutif.
5.2.2. Batasan operasional.

5.3. Variabel.
Variabel adalah suatu atribut yang dianggap mencerminkan atau mengungkapkan pengertian atau bangunan-pengertian.
5.3.1. macam-macam variabel.
1. variabel bebas.(penyebab)
2. variabel terikat.(hasil)


6. SEJARAH PENELITIAN PENDIDIKAN.
6.1. Awal pengukuhan (1879).
Benih gerakan penelitian disemaikan pada tahun 1879, ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium psikologi-eksperimental yang pertama di Leipzig, Jerman. Studi-studi yang pertama itu terutama dipusatkan di sekitar ketajaman panca indera, waktu reaksi dan ketrampilan gerak (motor skills). Laboratorium Wundt ini merupakan kemajuan yang nyata di bidang penyelidikan tingkah laku manusia secara ilmiah. Studi-studi pra-ilmiah dalam bentuk seperti frenologi mulai memudar. Dari psikologi-eksperimental awal ini timbullah sejumlah prosedur penelitian di samping munculnya penghargaan terhadap metode eksperimental yang cermat dan ketepatan teknik yang nantinya akan mempunyai pengaruh pada penelitian pendidikan.
Perkembangan penelitian pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh Sir Francis Galton (1822-1911), yang menyelidiki perbedaan-perbedaan individu di kalangan masyarakat. Orang Inggris yang jenius ini juga tertarik untuk mengembangkan alat-alat statistik guna menganalisis dan melukiskan data tentang perbedaan-perbedaan individual yang dimilikinya. Galton mempelopori penggunaan metode korelasi. Teknik-teknik statistik yang dikembangkan oleh Galton ini di kemudian hari dipakai dalam studi tentang masalah masalah kependidikan.
Di Amerika Serikat, James Mc Keen Cattell, yang pernah belajar di Jerman kepada Wundt dan juga terpengaruh oleh Galton, memulai suatu penyelidikan sistematis tentang perbedaan waktu reaksi individual pada fungsi penggerak indera (sensory-motor) yang dihubungkan dengan kecerdasan manusia. Pada tahun 1890, Cattell menulis artikel yang sekarang menjadi klasik berjudul ”Tes dan Pengukuran Mental”, yang untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah ’tes mental’ ke dalam literatur. Cattell menekankan perlunya pembakuan prosedur tes guna memperoleh pengukuran yang sebanding dari para subyek. Apa yang dimulai Cattell ini mengakibatkan timbulnya studi sistematis tentang perbedaan-perbedaan individu dalam fungsi-fungsi kemanusiaan lainnya, termasuk pengukuran kecerdasan.

6.2. Awal penelitian pendidikan (1897).
Joseph M. Rice pada umumnya dikenal sebagai perintis dalam gerakan penelitian pendidikan. Di tahun 1897, ia menerbitkan dua artikel yang melaporkan hasil penyelidikannya tentang hasil belajar mengeja (spelling) anak-anak sekolah di Amerika Serikat. Karya ini dianggap sebagai awal mula gerakan modern penyelidikan obyektif terhadap masalah-masalah pendidikan.
Penelitian Rice cenderung menunjukkan bahwa metode pengajaran mengeja yang digunakan pada zaman itu yang mengutamakan drill (latihan yang berulang-ulang), sebagian besar tidak efektif. Ia memperoleh banyak tantangan dari para pendidik, yang menganggap evaluasi terhadap metode mengajar dengan jalan mencari tahu seberapa jauh anak-anak dapat menulis ejaan sebagai perbuatan bodoh.
Rice menyelidiki metode mengajar di beberapa daerah lain dan mencoba menunjukkan kelemahan teori-teori pendidikan yang berlaku di abad kesembilan belas. Dalam karya Rice, orang dapat melihat pembentangan pendirian yang menekankan pentingnya penelitian di dalam pola pemikiran total mengenai pendidikan, suatu wewenang untuk menilai kelebihan dan kelemahan praktek-praktek pendidikan serta menyarankan jalan ke arah perbaikan.

6.3. Periode perintisan (1900-1920).
Sebagian besar para ahli telah sepakat menetapkan tahun 1900 sebagai saat dimulainya era ilmiah di bidang pendidikan. Periode dari tahun 1900-1920 adalah masa eksplorasi dan pengembangan alat pengukur yang diperlukan oleh para peneliti. Di tahun 1905, Alfred Binet menerbitkan skala kecerdasan praktis yang pertama, sesuatu yang sangat dibutuhkan di negerinya pada waktu itu. Tes-tes Binet diterjemahkan dan diterbitkan dalam beberapa versi, di antaranya yang terpenting ialah ’Tes Kecerdasan Stanford-Binet’, yang dikembangkan oleh Terman pada tahun 1916.
Edward L. Thorndike menjadi tokoh yang berpengaruh kuat dalam penyebaran dan pengembangan tes pendidikan baku (standart). Ia menerbitkan skala tulisan tangannya di tahun 1910, yang sering disebut sebagai alat pertama yang ditera secara ilmiah guna mengukur hasil pendidikan. Di antara tes tes hasil belajar yang pertama ialah tes berhitung oleh Stone, tes ejaan oleh Buckingham dan tes bahasa oleh Trabue.
Tes kecerdasan kelompok dimulai pada waktu Perang Dunia I, yang sebagian besar disebabkan oleh karya Otis, dan selanjutnya menjadi alat pengukur yang banyak dipakai dalam penelitian pendidikan. Pada tahun 1920 telah dapat diperoleh tes-tes individu maupun kelompok untuk mengukur kecerdasan verbal maupun non-verbal. Tes-tes bakat, seperti Seashore Test of Musical Talent.
Pada era ini, banyak bermunculan penyelidikan ilmiah di bidang pendidikan dengan menggunakan statistik. Studi statistik yang pertama tentang kemajuan anak-anak di sekolah dilakukan oleh Thorndike (1901), Ayres (1909) dan Strayer (1911). Berkat penelitian mereka, maka norma-norma hasil belajar secara nasional bagi semua tingkatan kelas dapat ditetapkan, serta kemajuan anak-anak berdasarkan norma-norma ini dapat di evaluasi.

6.4. Periode perluasan (1920-1945).
Periode ini merupakan masa perkembangan yang pesat bagi penelitian pendidikan. Jumlah alat ukur yang tersedia bagi para peneliti bertambah dengan pesat, ditandai dengan terbitnya Mental Measurement Year-Book. Penelitian pendidikan ditetapkan sebagai suatu bidang studi di perguruan tinggi. Program sarjana bidang pendidikan mulai menjadikan penelitian pendidikan sebagai mata kuliah wajib.
Buku karya Mc Call ’How to Experiment in Education’ yang terbit di tahun 1923, merupakan salah satu dari buku-buku pertama yang membahas masalah pengendalian dalam eksperimentasi pendidikan. Dan terobosan besar juga terjadi di tahu 1935, ketika Fisher mengembangkan desain-desain statistik variabel berganda (multivariat statistical designs).

6.5. Penilaian secara kritis (1945-sekarang).